Rabu, 30 Oktober 2013

Catatan seorang Ibu (2): Ketika Ku Lena Dalam Menjagamu, anakku….

  29 Agustus 2013



Malam perlahan menggelar tirai kelamnya. Meski begitu, aktifitas hari itu masih tersisa. Di ujung keramaian pesta demokrasi yang tepat berada di depan rumah, tiba-tiba menjadi semakin ramai oleh teriakan histeris anak perempun kecil. Sontak seorang ibu yang sedang menggendong sembari menyuapi bayinya didalam rumah tergopoh-gopoh mencari sumber teriakan anak perempuan kecil yang sangat dia kenal suaranya. Sejurus mata ibu menatap kehadiran anak perempuan kecil itu seraya bergumam masih tak mengerti dengan yang terjadi,  “tak ada yang salah dan kurang dengannya, kenapa dia menangis histeris begitu keras?”

Beberapa detik kemudian seorang wanita paruh baya datang dengan membopong anak kecil seraya menangis dan berteriak memanggil-manggil sebuah nama. Entah nama siapa yang dipanggil wanita paruh baya yang setiap harinya dipanggil cucu-cucunya dengan panggilan “abuk”, Ibu itu tak menghiraukan semuanya. Yang ada dan sangat terasa membetot segala fokus pikirannya adalah rasa remuk redam dan luluh lantah dalam hatinya begitu dia tahu yang dibopong abuk dari jalanan adalah anak laki-laki sulungnya yang meraung kesakitan. Terlihat pula olehnya suami, bapak dari anak-anaknya menyongsong abuk dengan gupuh dari arah samping rumah. “Kak Nadzim!!” pekik sang ibu dengan memecahnya tangis.

Puluhan orang menjejali teras rumah. Ada seorang lelaki paruh baya yang terlihat begitu gugup dan merasa bersalah menyebabkan anak laki-laki kecil itu luka.  Ada yang mencoba memberikan pertolongan, ada yang mencoba menenangkan anak perempuan kecil yang tak berhenti menangis karena tak tega melihat kakaknya kesakitan. Ada orang yang sekadar penasaran ingin melihat apa yang terjadi. Malam yang tak sepi itu, benar-benar semakin ramai seramai rasa pedihnya sang ibu melihat anaknya berteriak kesakitan.

Selalu seperti yang dulu-dulu. Ketika anak-anaknya kesakitan sang ibu yang semakin mengerti dengan apa yang terjadi, tak berani mendekat. Sang ibu didalam rumah hanya melihat dari kejauhan anak lelakinya yang kesakitan di pangkuan abuk. Sang ibu sesegukan menangis meratapi apa yang telah terjadi pada anaknya sembari berjalan kesana kemari kebingungan didalam rumah dengan masih menggendong bayi laki-laki yang tadinya tengah ia suapi. Sang Ibu kian merutuki dirinya sendiri, menyalahkan dirinya sendiri, “Seandainya aku tak sedang menyuapi bayiku, Seandainya aku mengawasi anak laki-laki sulungku dan yang lainnya. Seandainya  aku tak lena dalam menjagamu, anakku…. Mungkin kecelakaan itu tak akan terjadi!!”

Waktu yang perlahan merayap, mengajari sang ibu tentang arti kekuatan. Kekuatan untuk mengenyahkan rasa “tak tega”. Kekuatan untuk mendekati anak laki-lakinya dan kekuatan untuk menguatkan anak laki-lakinya yang tengah sakit. Akhirnya sang ibu benar mendekat, nanar melihat bilur luka anak laki-lakinya mesti luka itu tak banyak. Sesak dan pedih larut dalam tangis anaknya, sang ibu turut merasakan kesakitan anak laki-lakinya walau ternyata tak begitu seberapa.  kesakitan anaknya tetaplah sakit. Anaknya hanyalah anak kecil yang harusnya tak merasakan kesakitan itu jika saja dia tak lena menjaganya… “kak nadzimku… sabarlah sayang dalam cobaanmu! Mama turut merasakan sakit itu bahkan lebih pedih karena bercampur biluh penyesalan mama.  Maafkan mama yang telah lena menjagamu… mama bukanlah mama yang sempurna… mama hanyalah manusia biasa yang serba berbatas, ingin merengkuh dalam mata pengawasan di setiap inci lakumu namun apalah daya!!”

“anakku… andai kau mau mendengar mama untuk tidak bermain di jalan! Andai kau mau mendengar perintah abuk untuk berhenti menyeberang karena ada motor melintas! Andai kau mau mendengar teguran para tetangga untuk tidak bercanda di jalan!! ach… kau tetaplah anak kecil!! Mungkin masih terlalu kecil untuk memaknai segala maksud larangan-larangan orang dewasa!! Dengan senyum dan tawa kau abaikan semua, sehingga kejadian itu terjadi. Kau menabrak motor yang melintas pelan. Pengendara dan motornya pun terjatuh, alhamdulillah tak jatuh ke arahmu tersungkur hingga lukamu tak seberapa. Hanya kaget yang membuat ritme tangismu mengencang!!”

“Anakku… mama tahu kau di seusiamu bukanlah pendengar yang baik yang selalu mendengarkan dan menuruti apa yang kau dengar!! Tetapi kau adalah peniru hebat terhadap apa yang kau lihat!! Sering apa yang mama katakan, kau tirukan dan balik kau tujukan mama…! Sering kau marah begitu mendapatkan sesuatu yang tak sesuai dengan inginmu…!”
“anakku… mengingat sakitmu!! Mama ingin putar kembali waktu dan tetap mama rengkuh kau dalam dekapan mama dan takkan mama lepas meski kau menangis dan mengatakan mama nakal!”

“anakku… dengan adanya cobaan ini, kau bisa sedikit mengerti bahwa bermain di jalan berbahaya!! Sungguh bukan dengan alasan ini  lantas mama menyalahkanmu karena kau tak mengindahkan segala yang kau dengar. Tetap… ini adalah kesalahan mama yang lena dalam menjagamu… maafkan mama, anakku!! Semoga kau dan mama dapat belajar untuk sedikitmenjadi  lebih baik lagi! Sholih-lah kau dan adik-adikmu, kelak. Hingga dapat -Mendem Jeru dan Mikul Dhuwur-  orang tua dan orang di sekitarmu. Dan doakan pula mama kian bisa menjadi mama yang terbaik untuk kau, anak-anakku dan Istri sholihah untuk Bapakmu ” Amin.




Maafin Mama ya, kak!!!


Selasa, 29 Oktober 2013

Merasakannya sendiri…

Ketika satu hal ku pertahankan, ku kehilangan sesuatu yang lain
Ketika sesuatu yang lain ku kejar, maka satu hal itu tak kan jadi milikku…
Penuh pilihan!
Akhirnya kini, merasakannya sendiri…
Dalam kehampaan, tangis tak terbendung
Dalam kesepian, gumam tak terlarung….
Semua karena pilihan.
Ku merasakannya sendiri, semuanya….
Dengan pengertian yang ku terima sepotong.
Aku merasakannya sendiri, semuanya…
Bukan karena tiada…
Tapi karena tak terkata…
Bukan karena tak bisa berkata
Tapi karena semua pilihan
Pilihan hidup!
Menerima sendiri, semuanya…
Adalah satu-satunya pilihan terbaik
Tetap Senyum!

catatan seorang ibu 1

Mereka adalah anak-anakku…

Catatan seorang ibu 1
Madiun, 10 juli 2012

Pias wajahku, begitu melihat kepolosan dan kemungilan wajah anak-anakku yang sedang dibekap oleh mimpi. “Mereka adalah anak-anakku…” gumamku lirih. Sejurus, tangan kananku membelai lembut perut yang kian membuncit. Teringat siang tadi, anak pertamaku begitu riang menghampiri, tiba-tiba dia mencium dan mengelus perutku sambil mengucapkan haru dalam diriku,
“Ma… adikku dua ya, ma?”.
“Iya… kakak suka gak?” balasku
“Suka!!” jawabnya dengan penuh kepolosan dan sesungging senyum yang merekah.
Mama, Kak Nadzim dan Dek Agam
Tanpa terasa air mataku menggumpal, berlomba-lomba ingin menyeruak keluar sekadar membuang galau yang merajai hati. Entah bahagia atau sedih atas air mata ini? Kacau balau, aku menamai hatiku saat ini. Bahagia ? tentu… ini adalah sebuah rejeki yang tidak semua orang berkesempatan memiliki. Diluar sana, beramai-ramai orang sedang melakukan sederetan program kehamilan yang membutuhkan tidak sedikit biaya. Ada juga yang rela mengadopsi anak demi meruntuhkan kerinduan hadirnya anak di tengah-tengah keluarga. Sedih? Ya…rasa itu menyergapku begitu aku melihat si kecil yang genap satu tahun, yang belum pandai menapakkan kaki tanpa sandaran dan belum pandai melafalkan kata. Baru beberapa kata, “mama dan maem”. Peletakkan kata mama saja tidak hanya padaku. Orang-orang yang ada disekitarnya juga di panggilnya “mama”. Terlebih kata “maem” pun masih jarang terdengar. Ya… sedih itu menyergapku, si kecil harus menjadi kakak dari anak ketigaku yang berusia lima minggu dalam kandunganku. Mungkin lebih tepatnya, aku menamai rasa sedihku dengan rasa bersalah. Kasih sayangku harus terbagi lagi… 

Mereka adalah anak-anakku… yang bisakah aku membekap adil mereka satu demi satu dalam beranda kasih sayang? Bisakah kasih sayangku akan utuh terpatri dalam potret tumbuh kembang mereka? Sedang serangkaian aktifitas juga mewarnai kehidupanku. Haruskah aku hentikan lalu lintas rutinitasku, biar sedikit aku menyisih dan memfokuskan perhatian pada mereka? Sedang, sedikit banyak ruhul jihad telah mengalir dalam darah dari bapak, the best my motivation in this life!!

Mereka adalah anak-anakku… yang bisakah aku dengan keterbatasanku mendidik mereka? Menghantarkan mereka menjadi pribadi yang sempurna dalam tataran manusia. Pribadi yang tangguh. Pribadi yang berguna dan membanggakan. Pribadi yang kelak bisa “mikul duwur, mendem jeru” orang-orang disekelilingnya. Semoga! Amin. 

Ya maulaya… dalam keheningan malam ini, jangan biarkan aku hanyut di kedangkalan hatiku! Jangan biarkan aku larut atas kekhawatiran yang melemahkanku! Aku… dengan kemanusiawianku telah menjauhkan aku dengan keimananku. Engkau maha ada… Engkau maha adil… Engkau maha pemberi rejeki. 

"Robbana hab lana min dzurriyatina qurrota a'yun. "Ya Rabb, karuniakan kami dengan menjadikan anak kami penyejuk mata." amin